Hasan Basri
Запись блога пользователя «Hasan Basri»
Ada perjalanan yang kita ambil karena ingin melihat dunia, dan ada perjalanan yang kita lakukan karena ingin melihat ke dalam diri sendiri. Perjalanan ke Turki adalah yang kedua bagiku. Aku tidak mencarinya karena sedang bahagia, bukan juga untuk sekadar liburan. Aku hanya ingin rehat sebentar dari hidup yang belakangan terasa berat.
Saat pesawat mendarat di Istanbul, angin dingin menyapa dari pintu kabin. Rasanya seperti seseorang berkata pelan, “Kamu aman di sini.” Aku tidak membalas apa pun. Hanya menatap keluar jendela bus menuju hotel, memperhatikan bangunan tua, jalanan berbatu, dan langit Istanbul yang tampak matang oleh waktu. Aku tidak menunggu apa-apa dari kota ini. Tapi kota ini seperti sedang menungguku.
Hari pertama tur dimulai dengan mengunjungi Hagia Sophia dan Masjid Biru. Orang-orang sibuk mengabadikan momen, tetapi aku hanya berdiri diam di tengah ruangan besar itu. Aku tidak tahu apa nama perasaan yang muncul. Bukan haru, bukan senang, tapi ada sesuatu dalam diriku yang seperti diangkat perlahan ke permukaan. Di dinding-dinding tua itu, aku merasa seperti sedang dilihat tanpa dihakimi. Aku hanya manusia yang lelah. Dan itu tidak apa-apa.
Aku berjalan pelan ke arah pintu, menghirup aroma ruangan yang sulit dijelaskan. Seolah bangunan itu sudah melihat begitu banyak manusia dari berbagai zaman, namun tetap menyambut semuanya tanpa syarat. Rasanya hangat, meski udara dingin. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dadaku terasa sedikit lega.
Setelah Istanbul, rombongan menuju Cappadocia. Di perjalanan, aku duduk di dekat jendela bus tanpa banyak bicara. Batu-batu raksasa membentuk lanskap seperti dunia lain. Bentuknya aneh, tapi justru terlihat indah dengan kejujuran yang tidak diatur. Alam seolah berkata bahwa tidak ada yang harus sempurna untuk bisa diterima.
Subuh itu, kami naik balon udara. Langit masih abu-abu ketika keranjang balon perlahan terdorong ke udara. Aku memegang tepi keranjang, bukan karena takut, tapi karena sedang mencari sesuatu untuk kusandari. Ketika matahari muncul dari balik lembah, aku hanya membisu. Balon-balon lain ikut naik, memenuhi langit dengan warna-warna lembut. Semua terasa perlahan, bahkan angin.
Di momen itu, aku akhirnya sadar bahwa hidup selama ini begitu cepat. Aku berlari dari satu kewajiban ke kewajiban lain, dan melupakan bahwa aku pun manusia yang berhak berhenti. Aku melihat ke bawah, ke lembah Cappadocia, dan bertanya pada diriku sendiri: kapan terakhir kali aku benar-benar bernapas untuk diriku sendiri?
Tidak ada jawaban, tapi aku merasa mengerti sesuatu. Bahwa manusia tidak kuat setiap saat. Bahwa ada masa untuk menjadi rapuh dan itu bukan kelemahan. Bahwa hidup tidak harus selalu berjalan sesuai rencana agar tetap layak dijalani.
Turki seperti guru, tapi bukan yang mengajar dengan kata-kata. Ia mengajak memahami pelan-pelan melalui keindahan, keheningan, dan waktu yang melambat. Di sinilah anchor teks melekat bukan hanya untuk SEO, tapi makna emosionalnya: ketika turki mengajarkan arti hidup.
Malam terakhir kami habiskan di tepi Bosphorus. Lampu kota memantul di air, suasananya sejuk dan sunyi dengan cara yang sulit ditiru. Aku berdiri di pinggir pagar pelabuhan, mendengarkan riak air. Pelan, tenang, seperti napas panjang yang tidak terburu-buru.
Di situ aku sadar: mungkin hidup bukan tentang mengejar semuanya. Mungkin hidup adalah tentang memilih apa yang ingin kita jaga. Dan memilih kapan harus memeluk diri sendiri.
Aku tidak ingin malam itu cepat berlalu, tetapi ketika harus kembali ke hotel, aku tahu perjalanan ini sudah menancap pada hati. Perjalanan pulang pun tiba. Dalam pesawat, aku tak lagi memikirkan apa yang menunggu di rumah sebagai beban, melainkan sebagai bab berikutnya. Turki tidak mengubah hidupku secara ajaib. Tapi Turki mengubah cara aku memandang hidup.
Ketika tiba kembali di tanah air, rutinitas masih sama. Jalanan macet, email menumpuk, pekerjaan menanti. Yang berbeda adalah cara aku menjalaninya. Aku tidak mengharapkan hidup menjadi lebih mudah; aku hanya ingin menjalani hidup dengan cara yang lebih lembut terhadap diriku sendiri.
Dan sampai hari ini, saat mendengar nama Turki, yang muncul bukan sekadar keindahan kota atau destinasi wisata, tapi perasaan tenang yang membuatku tersenyum kecil setiap kali mengingatnya. Perjalanan itu bukan hanya memori. Ia menjadi bagian dari diriku.
Mungkin suatu hari nanti aku akan kembali. Mungkin tidak. Tapi apa pun yang terjadi, Turki sudah menyisakan bagian dalam hatiku yang tidak akan hilang.
Perjalanan ini menyembuhkan bukan karena aku ambruk, tapi karena akhirnya aku belajar untuk berdiri dengan lebih lembut.
