Hasan Basri
Запись блога пользователя «Hasan Basri»
Di Tengah Bisingnya Dunia
Cahaya kota menari di kaca gedung tinggi. Di sebuah kafe yang ramai, Aira duduk sendiri. Earphone menempel di telinga, tapi hatinya kosong.
Timeline media sosialnya penuh dengan pencapaian teman-teman: promosi, pernikahan, liburan ke luar negeri.
Tapi di balik semua itu, ia merasa… kehilangan arah.
Ia membuka tab baru di ponselnya dan mengetik:
“biaya umroh untuk usia muda 2025.”
Tangannya bergetar. Ia sendiri tak tahu kenapa ia mencari itu. Hanya… ada suara lembut dalam hati yang berbisik:
“Kembalilah.”
Panggilan yang Tak Bisa Dijelaskan
Malam itu, Aira terbangun. Azan Subuh dari masjid dekat rumahnya terdengar pelan tapi menusuk.
Ia teringat video yang pernah ia tonton — ribuan jamaah thawaf di sekitar Ka’bah, menangis, berdoa, menengadahkan tangan ke langit.
“Bagaimana rasanya ada di sana?” pikirnya.
Sejak hari itu, ia mulai menabung. Sedikit demi sedikit. Mengurangi kopi mahal, menghindari belanja impulsif.
Bagi sebagian orang, itu kecil. Tapi bagi Aira, setiap rupiah adalah langkah menuju Baitullah.
Ia tahu perjalanan ini bukan soal uang, tapi soal niat dan tekad.
Antara Dunia Digital dan Spiritual
Sebagai anak Gen Z, Aira hidup di dunia serba cepat dan digital. Semua serba instan — pesan makanan, bayar tagihan, bahkan cari tiket pesawat.
Tapi saat ia mulai mencari tentang umroh, ia sadar: ibadah tak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa.
Ia menemukan layanan jasa visa umroh mandiri yang memberi kebebasan penuh. Ia bisa mengatur jadwal sendiri, memilih maskapai, bahkan menyesuaikan hotel dengan budget-nya.
Semuanya terasa praktis, tapi hatinya tetap gemetar setiap kali mengisi data:
“Apakah aku benar-benar akan ke Tanah Suci?”
Ia menutup laptopnya. Air mata jatuh tanpa alasan.
Makkah Menyambut dengan Cahaya
Tujuh bulan kemudian, pesawat yang ia tumpangi mendarat di Bandara Jeddah.
Begitu pintu pesawat terbuka, udara hangat padang pasir menyambutnya. Langit cerah, tapi hatinya bergetar seperti awan yang siap menumpahkan hujan.
Bus menuju Makkah terasa panjang, tapi tak membosankan. Setiap tikungan, setiap doa yang bergema dari bibir jamaah lain, membuat Aira terisak pelan.
Dan ketika menatap Ka’bah untuk pertama kalinya — hitam, megah, bercahaya — lututnya melemah.
“Ya Allah سبحانه وتعالى… aku benar-benar di sini.”
Ia menangis sejadi-jadinya. Dunia seolah berhenti berputar.
Segala yang dulu ia kejar — pengakuan, karier, popularitas — tiba-tiba terasa kecil.
Dalam Putaran Thawaf
Suara doa bergema di sekelilingnya. Langkah-langkah jamaah menyatu seperti irama yang suci.
Aira berjalan perlahan, mengikuti arus thawaf.
Setiap langkah seolah membawa ingatan masa lalu — dosa, kecewa, dan luka.
Namun, semakin lama ia berjalan, beban itu terasa makin ringan.
“Ini bukan aku yang dulu,” bisiknya dalam hati. “Aku sedang dilahirkan kembali.”
Di hadapan Ka’bah, ia menengadahkan tangan:
“Terima kasih, Ya Allah سبحانه وتعالى, karena Engkau masih mau memanggilku.”
Madinah dan Keheningan yang Menyembuhkan
Di Masjid Nabawi, Aira duduk di Raudhah. Waktu berhenti.
Cahaya lembut menembus kisi-kisi jendela, membentuk pola indah di lantai marmer putih.
Di sana, ia merasa damai — damai yang belum pernah ia temukan sebelumnya.
Ia menatap ke langit-langit masjid dan berbisik:
“Rasulullah ﷺ, doakan aku agar istiqamah.”
Air matanya jatuh tanpa suara. Dalam diam, ia tahu — hati mudanya telah pulang.
Pulang yang Tak Sama
Saat pesawat kembali ke Indonesia, Aira menatap keluar jendela. Langit senja seperti menutup perjalanan dengan lembut.
Ia tak lagi takut kehilangan, tak lagi sibuk membandingkan diri dengan orang lain.
Karena kini ia tahu, hidup bukan soal siapa yang paling cepat sukses, tapi siapa yang paling cepat sadar.
Ia membuka ponselnya, menulis caption pertama untuk fotonya di depan Ka’bah:
“Aku pernah hilang. Tapi Allah سبحانه وتعالى menuntunku pulang.”
Dan di bawahnya, ia menambahkan satu kalimat pendek:
“Umroh, perjalanan yang tidak akan pernah selesai di hati.”
Semesta yang Menunggu Langkahmu
Di dunia yang terus berlari cepat, mungkin kamu juga merasa lelah.
Tapi percayalah, ada satu tempat di bumi yang selalu menunggumu untuk berhenti sejenak — Ka’bah, rumah pertama yang mengajarkan arti pulang.
Kamu tak perlu menunggu mapan, tak perlu menunggu tua.
Mulailah dengan doa, kemudian niat, lalu cari tahu jalannya.
Kini, ada banyak kemudahan seperti jasa visa umroh mandiri yang bisa membawamu ke sana — langkah demi langkah, dengan cara yang mudah dan terencana.
Karena panggilan itu tak pernah salah alamat.
Ia hanya menunggu kamu berkata,
“Ya Allah سبحانه وتعالى, aku siap melangkah.”