Blog entry by Hasan Basri

Anyone in the world

Ada satu momen dalam hidup saya ketika perjalanan bukan lagi sekadar perpindahan tempat, tetapi menjadi cara untuk memahami siapa diri saya sebenarnya. Momen itu terjadi ketika pertama kali menjejakkan kaki di Turki. Negeri yang berada di pertemuan dua benua ini membawa saya kepada cerita panjang yang seakan berdiri di antara masa lalu dan masa kini. Turki bukan hanya destinasi wisata, melainkan lembaran sejarah besar yang dapat disentuh, dilihat, dan bahkan dihirup lewat udara kotanya.

Setiap kali saya mengingat perjalanan itu, saya selalu teringat bagaimana perasaan pertama kali turun dari pesawat di Istanbul. Udara dingin menyentuh kulit, tapi lebih dari itu, ada sensasi hangat yang datang dari atmosfer kotanya. Istanbul seperti ingin menyambut kedatangan saya dengan lembut, seolah berkata bahwa saya akan menemukan sesuatu yang berharga dalam perjalanan ini.

Istanbul adalah kota yang lahir dari pertemuan budaya, agama, dan peradaban. Di kota ini, sejarah tidak hanya disimpan dalam buku, tetapi benar-benar hadir dalam bentuk bangunan, jalan, dan kehidupan masyarakatnya. Dari era Byzantium hingga menjadi pusat Kekaisaran Utsmani, Istanbul telah menjalani perjalanan panjang yang membentuk wajah dunia.

Hagia Sophia adalah saksi hidup dari perjalanan itu. Ketika saya melangkah masuk ke dalamnya, suasananya langsung membuat saya terpaku. Kubah besar yang menjulang, dinding yang dihiasi mosaik, dan kaligrafi raksasa yang menggantung megah seolah mengisahkan perjalanan panjang manusia dalam mencari Tuhan. Saya berdiri cukup lama di tengah ruangan, membiarkan mata menyapu setiap detail yang ada. Rasanya seperti mendengar suara-suara dari masa lalu yang tertinggal dalam batu-batu bangunan itu.

Tidak jauh dari Hagia Sophia, Masjid Biru menjadi pusat perhatian para pengunjung. Enam menara yang menjulang tinggi seperti mengawasi setiap langkah manusia yang datang dari berbagai penjuru dunia. Suara adzan yang berkumandang di antara bangunannya memberi kesan bahwa waktu berjalan lebih lambat, memberi ruang bagi siapa pun untuk merenung. Duduk di halaman masjid ini saat matahari sore mulai turun adalah salah satu pengalaman paling damai yang saya rasakan.

Setelah menyelami sejarah religius Istanbul, Topkapi Palace mengajak saya mengenal kehidupan para sultan. Di dalamnya tersimpan pedang para sahabat, peninggalan Rasulullah ﷺ, dan artefak yang menggambarkan betapa besar pengaruh Utsmani dalam dunia Islam. Melihat jubah dan pedang yang pernah digunakan para pemimpin besar itu membuat saya merasa begitu kecil. Ada getaran dalam hati yang tak bisa dijelaskan ketika berdiri di depan peninggalan-peninggalan itu. Rasanya seperti sejarah memegang tangan saya dan berkata, “Inilah jalan yang pernah dilalui orang-orang besar sebelum kamu.”

Namun perjalanan di Turki tidak selesai di Istanbul saja. Banyak hal yang membuat saya ingin terus melangkah, dan salah satunya adalah Bursa. Kota ini sering kali terdengar sederhana di telinga sebagian wisatawan, namun justru di sanalah keindahan dan ketenangan benar-benar terasa. Bursa adalah ibu kota pertama Kekaisaran Utsmani sebelum dipindahkan ke Istanbul. Dengan udara yang jauh lebih sejuk dan kota yang lebih tenang, Bursa menawarkan pengalaman yang lebih intim dengan sejarah.

Saya mengunjungi Ulu Cami, masjid agung yang terkenal dengan 192 kaligrafi raksasa yang menghiasi dinding-dindingnya. Saat duduk di bawah cahaya redup yang masuk dari jendela-jendela besar, saya merasakan kedamaian yang berbeda. Kaligrafi-kaligrafi itu bukan sekadar tulisan, tetapi doa dan pengingat yang membuat hati terasa lebih lembut. Bursa juga dikenal dengan pasar sutranya yang sudah ada sejak berabad-abad lalu, tempat yang mempertemukan pedagang dari berbagai negara pada masa lalu. Saat berjalan di antara kios-kios, saya membayangkan bagaimana para pedagang zaman dahulu bertukar barang, budaya, dan cerita.

Dari Bursa, perjalanan saya berlanjut ke Cappadocia, tempat yang sampai hari ini rasanya masih sulit saya jelaskan dengan kata-kata. Jika ada tempat yang benar-benar terlihat seperti lukisan yang hidup, itulah Cappadocia. Bentang alamnya terbentuk dari letusan gunung berapi ribuan tahun lalu, menciptakan lembah-lembah, cerobong peri, dan rumah-rumah batu yang tak bisa ditemukan di tempat lain.

Salah satu hal yang paling saya tunggu adalah menyaksikan matahari terbit dari atas balon udara. Ketika balon perlahan naik, pemandangan lembah yang luas terbentang seperti permadani alami yang megah. Langit berubah dari gelap ke jingga lembut, dan balon-balon lain tampak seperti titik-titik kecil yang terbang bersama. Rasanya seperti dunia berhenti sejenak hanya untuk menampilkan keindahan itu. Di bawah, terdapat Goreme Open Air Museum dengan gereja-gereja batu dan ruang ibadah kuno yang menjadi bukti bahwa Cappadocia pernah menjadi pusat kehidupan rohani pada masanya.

Perjalanan ke Turki semakin bermakna ketika mengikuti paket negeri dua benua. Banyak yang memilihnya karena ingin mendapatkan perpaduan antara wisata sejarah dan perjalanan spiritual. Kombinasi ini bukan hanya membuat perjalanan lebih lengkap, tetapi juga memberikan kesempatan untuk menguatkan hati sebelum menuju Tanah Suci.

Saya merasakan bahwa Turki berhasil membuka ruang refleksi dalam diri. Melihat sejarah panjang peradaban Islam, kejayaan Utsmani, hingga keindahan yang memanjakan mata membuat saya semakin bersyukur. Perjalanan ini bukan hanya tentang tempat-tempat indah, tetapi juga tentang bagaimana saya melihat diri sendiri setelah menyaksikan betapa besar perjalanan manusia sebelum saya.

Turki memperlihatkan bahwa sejarah bukan hanya catatan masa lalu, melainkan cermin untuk masa depan. Melangkah di jalan-jalan Istanbul, merasakan sejuknya Bursa, dan terpesona oleh Cappadocia membuat saya percaya bahwa setiap perjalanan punya caranya sendiri untuk mengubah seseorang.