Hasan Basri
Blog entry by Hasan Basri
Di jantung kota Yerusalem yang berlapis sejarah, berdiri tempat suci yang menyimpan sejuta kisah perjuangan dan pengorbanan. Ia bukan hanya bangunan megah dari batu, tapi simbol kekuatan iman dan harapan umat Islam di seluruh dunia — Masjidil Aqsho.
Sejak ribuan tahun lalu, masjid ini menjadi saksi bisu bagaimana keyakinan bertahan di tengah badai penjajahan dan konflik yang tak berkesudahan.
Awal Kejayaan dan Makna Spiritual
Sejarah Masjidil Aqsho dimulai jauh sebelum Rasulullah ﷺ diutus. Nabi Daud عليه السلام memulai pembangunannya, lalu disempurnakan oleh Nabi Sulaiman عليه السلام. Tempat ini menjadi pusat ibadah dan ilmu, di mana banyak nabi berdoa dan mengajarkan tauhid kepada umatnya.
Namun, kejayaan sejati datang ketika Rasulullah ﷺ melakukan perjalanan suci Isra’ Mi’raj. Dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsho, lalu diangkat ke langit untuk menerima perintah shalat. Sejak saat itu, nama masjid ini terpatri kuat dalam hati setiap Muslim. Ia bukan hanya tempat bersejarah, tapi juga simbol hubungan spiritual antara bumi dan langit.
Keutamaannya disebut langsung dalam Al-Qur’an, Surah Al-Isra ayat 1:
“Mahasuci Allah سبحانه وتعالى yang telah memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho yang telah Kami berkahi sekelilingnya...”
Ayat ini menjadi pengingat, bahwa tanah tempat Masjidil Aqsho berdiri adalah tanah penuh berkah dan nilai spiritual yang tak ternilai.
Masa Penjajahan: Ketika Iman Diuji
Namun sejarah tidak selalu berjalan tenang. Tanah suci ini menjadi rebutan berbagai kekuatan dunia. Dari kekaisaran Romawi, Byzantium, hingga masa Perang Salib — Masjidil Aqsho berkali-kali diserang, dihancurkan, dan direbut. Tapi satu hal yang tak pernah hancur: semangat menjaga rumah Allah.
Ketika pasukan Romawi menguasai Yerusalem, masjid ini sempat dijadikan tempat pemujaan berhala. Bertahun-tahun lamanya, umat Islam tak bisa mendekat. Hingga akhirnya, Allah سبحانه وتعالى menurunkan pertolongan melalui Khalifah Umar bin Khattab رضي الله عنه.
Dengan kebijaksanaan dan ketenangan hatinya, Umar menaklukkan Yerusalem tanpa pertumpahan darah. Ia datang sebagai pembawa damai, bukan penakluk. Saat pertama kali menjejakkan kaki di area Masjidil Aqsho, beliau langsung bersujud dan membersihkan tanahnya dari kotoran. Di sanalah shalat pertama umat Islam di Baitul Maqdis dilaksanakan.
Kisah ini menjadi simbol perjuangan sejati — bahwa membebaskan tanah suci bukan tentang kekuatan fisik semata, tapi tentang kemurnian hati dan cinta kepada Allah سبحانه وتعالى.
Perang Salib dan Pembebasan Kembali
Sekitar lima abad kemudian, datanglah masa kelam lain. Pasukan Salib Eropa menyerbu Yerusalem pada tahun 1099 M dan menjadikan Masjidil Aqsho sebagai markas besar. Kubah peraknya dirusak, lantainya dijadikan tempat kuda, dan kesucian masjid ini dinodai.
Namun, Allah سبحانه وتعالى sekali lagi menunjukkan kebesaran-Nya. Melalui tangan panglima Islam yang dikenal karena keberanian dan kasih sayangnya — Salahuddin Al-Ayyubi — Yerusalem berhasil dibebaskan pada tahun 1187 M.
Saat pertama kali memasuki Masjidil Aqsho, Salahuddin menangis. Ia tak melihat kemenangan sebagai kejayaan militer, tapi sebagai amanah untuk menjaga tempat suci yang telah Allah سبحانه وتعالى berkahi.
Beliau memerintahkan untuk membersihkan masjid, mengganti karpet, memperbaiki mimbar, dan memanggil para ulama untuk kembali menghidupkan ilmu dan ibadah di dalamnya. Sejak saat itu, Masjidil Aqsho kembali berdiri tegak sebagai lambang kebangkitan iman.
Masjidil Aqsho di Tengah Konflik Modern
Zaman terus berganti, tapi ujian untuk Masjidil Aqsho belum berakhir. Di era modern, wilayah ini kembali menjadi pusat konflik politik dan keagamaan.
Meski berada di bawah tekanan, suara adzan dari masjid ini tidak pernah berhenti. Para penjaga, ulama, dan masyarakat Palestina terus mempertahankannya dengan penuh keteguhan.
Setiap pagi, mereka membuka gerbang masjid meski tahu risiko ancaman dan intimidasi. Setiap malam, mereka berdoa dalam sunyi agar dunia tidak melupakan tanah suci ini.
Ada yang kehilangan keluarga, ada yang terluka, tapi semangat mereka tak pernah pudar. Karena bagi mereka, menjaga Masjidil Aqsho bukan sekadar kewajiban — tapi bentuk cinta kepada Allah سبحانه وتعالى dan Rasulullah ﷺ.
Suara dari Tanah Suci: Doa yang Tak Pernah Reda
Bayangkan suasana fajar di Yerusalem. Udara dingin menusuk, tapi halaman Masjidil Aqsho sudah dipenuhi jamaah. Anak-anak muda berdiri di barisan shalat, di antara orang tua yang matanya teduh penuh doa.
Suara imam menggema lembut, membawa pesan harapan: bahwa selama masih ada yang berlutut dan bersujud di sini, cahaya Islam tidak akan pernah padam.
Setiap sujud di lantai itu adalah bentuk perlawanan — bukan dengan senjata, tapi dengan doa. Mereka tahu, kekuatan sejati datang dari keteguhan hati, bukan kekuasaan dunia.
Kesimpulan: Masjidil Aqsho, Cinta yang Tak Terlupakan
Sejarah panjang Masjidil Aqsho adalah cermin perjalanan iman manusia. Ia mengajarkan bahwa keimanan sejati selalu diuji oleh waktu, bahwa cinta kepada Allah سبحانه وتعالى harus dibuktikan dengan kesabaran dan perjuangan.
Masjid ini bukan hanya batu dan kubah, tapi simbol hidup dari harapan umat Islam di seluruh dunia. Dari zaman Nabi hingga hari ini, Masjidil Aqsho tetap menjadi pusat doa, tempat jiwa-jiwa beristirahat, dan cahaya yang tak akan padam meski dunia berubah.
Dan kelak, ketika kemenangan sejati datang, nama Masjidil Aqsho akan tetap berdiri tegak di atas sejarah — bukan sebagai monumen, tapi sebagai bukti bahwa iman selalu menang atas segalanya.
