Hasan Basri
Blog entry by Hasan Basri
Dari Niat ke Tanah Suci: Kisah Hangat Tentang Persiapan Umroh Pertama
Semua berawal dari niat sederhana yang terucap lirih setelah salat Isya.
“Ya Allah, jika Engkau berkenan, izinkan aku menjejak tanah suci-Mu, menjadi tamu-Mu di Baitullah.”
Kalimat itu terasa kecil, tapi ternyata menjadi langkah awal dari perjalanan panjang yang mengubah cara pandangku tentang hidup, rezeki, dan makna berserah diri.
Aku tak menyangka, doa malam itu akan menjadi titik balik. Sejak hari itu, setiap aktivitas terasa punya tujuan baru: bersiap menjadi tamu Allah سبحانه وتعالى.
Menata Niat, Membersihkan Hati
Persiapan umroh bukan dimulai dari tiket atau koper, tapi dari niat yang bersih.
Aku mulai belajar menyederhanakan hidup, memperbaiki hubungan dengan orang-orang, dan memperbanyak istighfar.
Aku sadar, Allah سبحانه وتعالى tidak memanggil siapa yang mampu, tapi memampukan siapa yang terpanggil. Maka sebelum melangkah, aku berusaha menata hati. Karena perjalanan suci ini bukan sekadar pergi jauh, tapi tentang pulang — pulang kepada fitrah, pulang kepada Tuhan.
Tabungan yang Berisi Harapan
Bagiku, menabung untuk umroh terasa berbeda. Setiap lembar uang yang kusisihkan seperti memiliki doa di baliknya.
Bukan cuma angka di rekening, tapi bukti kesungguhan. Aku bahkan membuat celengan kecil bertuliskan, “Menuju Tanah Suci”.
Setiap kali memasukkan uang ke sana, aku berbisik, “Sedikit demi sedikit, ya Allah, semoga Engkau hitung sebagai langkah menuju rumah-Mu.”
Lucunya, aku tak pernah merasa berat menabung kali ini. Seolah setiap rupiah yang keluar diganti dengan rasa tenang yang tak bisa diukur.
Dan saat aku mulai membandingkan biaya umroh dari berbagai agen, aku tersadar bahwa rezeki memang datang di waktu yang tak terduga. Ketika niat sudah bulat, Allah سبحانه وتعالى bukakan jalan dengan cara yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
Mencari Bimbingan dan Ilmu Sebelum Berangkat
Selain urusan materi, aku mulai mempersiapkan diri dengan ilmu.
Kupelajari tata cara ihram, doa-doa, dan makna setiap ibadah yang akan dijalani.
Aku mengikuti kajian online, membaca panduan umroh, dan menonton video para jamaah yang sudah pernah ke sana. Semakin kupelajari, semakin aku merasa kecil di hadapan kebesaran Allah سبحانه وتعالى.
Rasanya luar biasa membayangkan bisa melihat Ka’bah langsung, tempat jutaan umat Islam menumpahkan doa dan air mata.
“Ya Allah, aku tak sabar ingin berada di depan rumah-Mu.”
Latihan Fisik dan Kesiapan Tubuh
Satu hal yang sering dilupakan dalam persiapan umroh adalah kesiapan fisik.
Aku mulai rutin jalan kaki setiap pagi, berusaha membiasakan diri dengan langkah panjang dan ritme cepat, seperti saat thawaf atau sa’i nanti.
Rasanya sepele, tapi latihan kecil ini membuatku sadar: beribadah juga butuh kekuatan tubuh.
Dan saat keringat menetes di pagi hari, aku berdoa dalam hati, “Semoga latihan kecil ini jadi bagian dari persiapanku menyambut panggilan-Mu.”
Ujian di Tengah Persiapan
Tidak semua berjalan mulus. Di tengah semangat menabung dan belajar, sempat datang ujian.
Pekerjaan sempat tak stabil, ada kebutuhan mendadak, bahkan sempat muncul rasa ragu: “Mampukah aku benar-benar berangkat?”
Tapi setiap kali hati mulai goyah, aku teringat firman Allah سبحانه وتعالى dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat itu menenangkan. Aku belajar bahwa semua ujian hanyalah bagian dari proses. Bahwa Allah سبحانه وتعالى sedang menyiapkan hati agar siap menjadi tamu-Nya.
Restu dan Doa dari Orang Tua
Hari itu aku pulang ke rumah membawa kabar besar: jadwal keberangkatanku telah keluar.
Ketika kuberitahu ibu, beliau menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Alhamdulillah, Nak. Akhirnya Allah panggil juga.”
Beliau memelukku erat, seolah melepas beban bertahun-tahun. Dalam pelukan itu, aku merasa segala lelah dan perjuangan menabung terbayar lunas.
Doa orang tua adalah kunci, dan aku tahu tanpa doa itu, aku mungkin tak akan sampai sejauh ini.
Malam Sebelum Keberangkatan
Malam itu, koper sudah tertata rapi. Tapi yang paling berat bukan menyiapkan barang, melainkan menenangkan hati.
Aku duduk di atas sajadah, membaca surat Yasin sambil menangis. “Ya Allah, aku tak pantas, tapi aku ingin Engkau panggil aku ke rumah-Mu.”
Perasaan campur aduk: haru, takut, bahagia.
Aku sadar, besok bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan menuju ampunan.
Setiap langkah di bandara nanti adalah langkah menuju cinta yang tak bisa diukur oleh waktu atau jarak.
Hari yang Dinanti: Saat Kaki Melangkah ke Tanah Suci
Ketika pesawat mulai terbang, aku memejamkan mata.
Tiba-tiba terbayang semua perjuangan: menabung, belajar, menunggu, berdoa.
Dan kini semuanya jadi nyata.
Setibanya di Tanah Suci, aku menatap Ka’bah untuk pertama kalinya. Air mataku tumpah tanpa bisa kutahan.
Setiap persiapan, setiap tetes keringat, setiap doa yang pernah kuucap, seolah berputar di benak.
“Ya Allah, akhirnya aku sampai di rumah-Mu.”
Umroh Mengajarkan Arti Pulang
Sepulang dari Tanah Suci, aku sadar — perjalanan itu belum selesai.
Karena hakikatnya, umroh bukan akhir, tapi awal. Awal dari hidup baru yang lebih dekat pada Allah سبحانه وتعالى.
Dan kini, setiap kali aku melihat tabungan kosong, aku tidak sedih. Karena yang terisi bukan rekeningku, tapi hatiku.
Persiapan umroh telah membuatku mengerti: bahwa perjalanan terbaik bukan ke tempat yang jauh, tapi menuju hati yang tenang.